Minggu, 07 Februari 2010

Indonesia Negara Agraris


Indonesia Negara AgrarisAgenda besar negara ini untuk menjadi sebuah industry country, agaknya harus dikaji ulang. Dari kultur dan budaya bangsa yang unik, munculah kendala untuk merealisasikan hal ini. Meskipun secara fisik Indonesia memiliki potensi yang sangat besar, namun secara mental hal itu harus dipertanyakan. Modal fisik Indonesia untuk menjadi sebuah negara industri tidak dipungkiri lagi sangatlah terjamin. Sumber daya alam yang berlimpah, dari Sabang sampai Merauke. Dengan hasil tambang yang berlimpah, hutan yang kaya, laut dengan bermacam hasilnya, dan limpahan kekayaan alam lainnya. Kemudian, tenaga kerja juga tak perlu dipertanyakan, mengingat jumlah penduduk Indonesia lebih dari dua ratus juta orang dan di semua sektor, tenaga kerja tersedia, dari sektor bawah (kuli, buruh) hingga sektor atas (insinyur dan para tenaga ahli).Namun, di balik terjaminnya
modal fisik tersebut, ada modal yang tak dimiliki bangsa Indonesia. Etos kerja
dan mentalitas adalah modal yang tidak dimiliki bangsa ini. Etos kerja yang
lemah, menjadikan bangsa ini malas untuk bekerja keras. Sedangkan kerja keras
adalah satu hal yang sangat penting untuk membangun masyarakat industri. Kita
dapat melihat ini dengan mengaca pada Jepang dan Korea Selatan. Jepang dan
Korea Selatan merupakan contoh yang pas untuk menggambarkan hal ini. Etos kerja
kedua bangsa ini tak perlu diragukan lagi. Dengan etos kerja yang mereka miliki,
dalam beberapa dekade saja mereka telah menjadi negara industri yang mumpuni.
Lihat saja barang-barang industri buatan Jepang dan Korea, hampir di semua
tempat ada barang buatan mereka. Dari alat elektronik (HP, pemutar CD,
televisi, kulkas) hingga mobil dengan berbagai merek mengisi ruang-ruang di


depan kita.Yang kedua, mentalitas. Dengan mentalitas masyarakat yang tenggelam
dalam ekstasi konsumerisme (meminjam bahasanya Yasraf Amir Piliang, Dunia yang
Dilipat, 105) maka, untuk mewujudkan negara Indonesia sebagai negara industri,
adalah hal “mustahil”. Dengan kata lain untuk berubah menjadi sebuah negara
industri, terlebih rubahlah pola pikir bangsa dulu. Sebuah bangsa yang diisi
dengan masyarakat konsumer, akan selalu menjadi negara konsumen, demikian hukum
alamiah yang berlaku. Karena pola pikir yang memenuhi otak mereka, cenderung
menginginkan kemudahan-kemudahan dengan memilih menjadi manusia konsumtif dari
pada menjadi manusia produktif. Selain itu dengan mentalitas konsumerisme ini,
maka barang produksi dalam negeri yang cenderung mahal tidak menjadi pilihan
para konsumen. Lebih baik membeli barang murah dari Cina dengan kualitas sama
dengan barang dalam negeri, atau membeli barang yang agak mahal dari Jepang
dengan kualitas yang lebih baik dari pada barang dalam negeri. Dengan begitu
lemahlah semangat produktivitas bangsa ini, buat apa memproduksi barang jika
tak ada pembeli.Dengan kondisi seperti ini tentu upaya untuk mewujudkan Indonesia sebagai sebuah negara industri akan sulit dilakukan. Indonesia butuh etos kerja yang tinggi dan mentalitas yang kuat untuk menjadi produktif, jika hal ini tetap begini, siapkanlah diri kita untuk selamanya menjadi bangsa yang terbelakang. Meski manusianya didandani dengan pakaian dan make up paling modern sekalipun, jika mentalitasnya adalah mentalisme konsumerisme tetap saja bangsa ini menjadi bangsa yang terbelakang. Corak negara Agraris, sebagi satu pilihanSetelah melihat dan
merasakan bahwa bangsa Indonesia belum cukup mampu untuk menjadi negara
industri, maka satu “perubahan” harus tetap dilakukan, life must be go on. Tentunya kita tak mau hidup dalam kondisi negara yang seperti ini. Di mana kesenjangan sosial begitu nampak, kemiskinan merajalela, pengangguran mewabah, dan yang kaya makin kaya saja. Kembali menjadi masyarakat dengan basis utama pertanian tentu adalah pilihan yang tidak buruk. Masyarakat Indonesia yang sejak dulu memang bangsa petani, mengapa seolah melupakan kodratnya itu. Dengan kondisi dan letak geografis yang memang sesuai dengan pertanian, mengapa kita tak memanfaatkan ini sebaik mungkin. Tanah yang luas dan subur, iklim yang baik untuk pertanian, laut yang kaya, mengapa kita
membiarkan ini terbengkalai. Dan apa yang telah terjadi? Bangsa ini malah
memarginalkan pertanian dengan mengangkat industrialisasi yang ternyata belum
pas untuk Indonesia. Seharusnya pemerintah memfokuskan pada bidang pertanian ini, karena di saat bangsa ini diselimuti kabut konsumerisme, petanilah yang masih memiliki etos keja dan mentalitas yang baik. Dengan mengangkat derajat petaninya maka negara ini akan berhasil. Tapi selama ini yang terjadi, para petani malah selalu dijadikan korban pasar dan kebijakan yang diciptakan pasar. Pupuk yang mahal, dengan harga hasil pertanian yang murah. Ketimpangan-ketimpangan ini seharusnya tak terjadi jika sejak awal bangsa ini sadar siapa dirinya sebenarnya. Subsidi-subsidi harusnya diberikan kepada petani, demi meningkatkan kinerja mereka, demikian pula
penyuluhan-penyuluhan tetap harus dilakukan. Hal yang sangat dibutuhkan petani
saat ini adalah fasilitator yang dapat membantu kerja mereka, bukan sebaliknya.
Dengan pertanian sebagai tumpuan perekonomian kita, baru bangsa menuju masyarakat industris. Untuk menjadi masyarakat industris diperlukanlah akar yang kuat untuk melandasinya. Dan dengan menjadi masyarakat agraris yang mumpuni, bangsa ini akan menjadi masyarakat industris dengan akar yang kokoh. Selama ini kita seperti pohon hasil cangkokan, yang bila sedikit diterpa badai krisis, koleplah kita. Hal ini
karena akar-akar yang dimiliki tidak begitu kuat. Akar yang dimiliki hanya
sekedar untuk menopang kehidupan sementara. Kita lihat saja ke depan, apa
dengan basis perekonomia disektor non riil, perekonomian bangsa ini akan
berkembang? Pola perekonomian mengambang yang diterapkan pemerintah ini tentu
tak akan memunculkan kemakmuran yang merata, bahkan akan terus menimbulkan ketakutan
akan munculnya sebuah keos, karena memang tak memiliki basis yang kuat. Selain
itu, dengan pola ini, ketergantungan kita terhadap modal asing akan begitu kuat. Apabila modal asing itu pergi, habislah perekonomian bangsa ini. Dan dengan begitu kapan kita akan menjadi bangsa yang mandiri?

0 komentar:

Posting Komentar